KATA PENGANTAR
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, salam sejahtera untuk kita semua, semoga tercurah keberkahan kepada kita semua, aamiin.
Pemerintah Desa Kedunggubah Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo senantiasa berusaha untuk menjaga kelestarian Sejarah Desa Kedunggubah dengan mencoba mebuat risalah dan menulis sejarah Desa Kedunggubah.
Sejarah Desa Kedunggubah adalah Sejarah asal muasal dan tokoh serta legenda 4d tempat bersejarah sebagai upaya dan bertujuan untuk memberikan informasi dari generasi ke generasi, agar Sejarah Desa Kedunggubah dapat di kenang dan di napak tilas, menjadi suri tauladan bagi generasi penerus Desa Kedunggubah dan di refleksikan dalam ber kehidupan sebagai penduduk Desa Kedunggubah yang memahami sejarah Panjang Desa Kedunggubah.
Harapan penulis buku ini dapat menjadi salah satu referensi semua penduduk Desa Kedunggubah dari generasi ke generasi di manapun berada sebagai anak turun Desa Kedunggubah.
Akhinya penulis menyadari sepenuhnya bahwa Buku Sejarah Desa Kedunggubah ini masih jauh dari sempurna. Dengan segala kerendahan hati kami harapkan saran dan kritik demi perbaikan ke depan. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.
Penyusun
Ttd.
WahyuElmuna
SEJARAH DESA KEDUNGGUBAH
DARI MASA KE MASA DAN KETOKOHAN PENDAHULU DESA
Di kisahkan Desa Kedunggubah adalah sebuah Desa di Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo adalah desa yang berada di deretan gugusan perbukitan Menoreh Selatan yang dengan luas kurang lebih 351,5 Ha dengan koordinat : -7.716 LS dan 110.070 BT, yang perbatasan dengan:
Mayoritas penduduk Desa Kedunggubah bekerja sebagai Petani / Pekebun buah buahan dan palawija dengan kondisi lahan kering.
Sistem Pemerintahan Desa Kedunggubah adalah Sistem Desa yang menganut sistem gotong royong di mana penduduknya aktif ber gotong royong dalam membangun Desa Kedungubah yang di Pimpin oleh seorang Lurah / Kepala Desa.
ALKISAH.
Desa Kedunggubah sendiri dalam penamaannya sering di sangkutkan dengan suatu ikon tempat yang di anggap penting oleh penduduk Desa Kedunggubah.
Nama Desa Kedunggubah di ambil dari nama sebuah Kedung / Kedungan yang berbentuk seperti Gubah atau Jembangan ( alat / wadah air terbuat dari tanah berbentuk besar ) di aliran Sungai Mongo hilir dari aliran sungai Kali Puro, sehingga lebih di kenal dengan nama KEDUNG GUBAH.
Dalam kisah lain Kedung / Kedungan itu yang di bawah dasar Kedungan itu ada batu yang berbentuk seperti GUBAH ( Kepala atap Masjid ) maka untuk memudahkan mengucapkan nama maka KEDUNG GUBAH di tulis dengan nama KEDUNGGUBAH.
Nama Desa Kedunggubah / sebuah tempat sangat erat kaitannya dengan cerita rakyat daerah itu, yang diakui kebenarannya oleh si empunya tempat tersebut. sama halnya dengan Desa Kedunggubah, mengapa diberi nama Kedunggubah? , siapa yang memberi nama?, kapan nama itu mulai dipakai oleh penduduk Kedunggubah?, Berikut penulis mencoba menggali cerita rakyat Kedunggubah, lewat seorang sesepuh desa Kedunggubah yang kebetulan sebagai “Juru Kunci” makam Eyang Bangun Topo. Seorang yang Cikal Bakal / Truko ( bahasa jawa ) di wilayah Desa Kedunggubah, yang dipercayai penduduk sebagai orang tertua di Desa ini.
Sewaktu pecah perang Majapahit, masuknya agama Islam di Demak Bintoro (Sultan Fatahillah) banyak rakyat Majapahit yang tidak mau masuk Islam. Mereka melarikan diri mencari aman kedaerah-daerah yang masih kosong / jarang penduduknya. Salah seorang prajurit tersebut ada yang lari dan masuk Desa ini yang belum ada namanya. yang ada hanya nama-nama yang karena ada kaitannya dengan lingkungan.
Misalnya tempat berkumpulnya para “Bei” maka tempat itu maka diberi nama Ngabeyan. tempat berkumpulnya para “Glondhong” maka diberi nama Glondhongan. Nama prajurit itu tidak ada yang tau pasti.
Namun setelah menempati Desa ini penduduk setempat menamakan Eyang Bangun Topo, sebab dia seorang yang ahli bertapa / berpuasa. Nama lain Eyang Trunojoyo karena beliau datang dengan menaiki kuda yang gagah berani / perkasa. Nama lain lagi Eyang Tuyono sebab semenjak di Desa ini air menjadi tidak pernah kekeringan, sekalipun di puncak-puncak pegunungan tetap ada mata air (Toyo+ana). Eyang BangunTopo memilih tempat tinggal di tengah-tengah Desa ini, sambil memikirkan dimana tempat yang paling cocok. Beliau duduk diatas batu di pertigaan (tempuran) yang sekarang orang menyebut daerah itu dengan nama “Gandhu”. Batu itu masih dikeramatkan, tidak sembarangan orang menginjak-injak batu tersebut.
Lama-kelamaan di Desa ini banyak orang pendatang seperti dari Yogyakarta, Cirebon, JawaTimur. Ada seorang punggawa Kraton Yogyakarta yang datang dan oleh Eyang BangunTopo supaya menempati di sebelah barat, agar bila ada gangguan keamanan dari arah barat dapat ditanggulangi, orang menyebut “Ndeso Bei” Desa Ngabeyan ( di Dusun Kliwonan ) yang menempati tempat yang sampai sekarang dinamakan “Ngabeyan”.
Seorang pendatang dari Jawa Barat tepatnya “Banten” oleh Eyang Bangun Topo diserahi untuk memimpin Desa ini sebagai Lurah (Kepala Desa) dan oleh penduduk dikenal dengan Lurah / Kepala Desa pertama. Mengapa Eyang Bangun Topo tidak mau menjadi Lurah saat itu? Karena beliau merasa sudah tua dan ingin meneruskan sebagai pertapa untuk menyempurnakan hidupnya.
Mulailah Desa ini teratur dan makmur, kehidupan penduduknya rukun damai dengan dipimpin seorang pendatang dari Banten tersebut. Sejak saat itu Desa ini menjadi sasaran penjahat, pencuri dan perampok, yang membuat keresahan penduduk. Kepala Desa meminta petunjuk dan bantuan Eyang Bangun Topo untuk keamannya Desa ini. Kemudian diberinya sebuah pusaka tombak yang sangat ampuh dengan ditancapkan di tapal batas Desa di sebelah barat. Khasiat tombak tersebut bila penjahat mau masuk Desa ini yang Nampak bukan Desa tetapi sebuah hutan belantara yang sangat lebat sehingga mereka membatalkan niatnya masuk Desa karena yang kelihatan hanya hutan belntara yang lebat.
Sampai sekarang tombak itu masih sering nampak untuk mereka yang mempunyai indera ke-6. Semenjak memberikan tombak itu Eyang Bangun Topo ijin untuk bertapa sampai batas waktu tertentu. Beberapa waktu kemudian datanglah utusan kerajaan Majapahit yang mengabarkan bahwa kerajaan sudah dalam keadaan aman, Eyang Bangun Topo disuruh pulang maka oleh Kepala Desa diantarkan sampai kepasanggrahan Eyang Bangun Topo.
Ternyata disana kosong. Betapa kagetnya utusan raja tersebut, padahal dia sudah berjanji tidak akan pulang ke kerajaan bila tidak dengan Eyang Bangun Topo. Berhari-hari mencari di hutan-hutan turun naik gunung yang akhirnya menelusuri sampai di sebuah kedung yang besar, ia putus asa dan ingin bunuh diri karena merasa bersalah di hadapan raja, dengan cara terjun ke kedung tersebut.
Belum sampai niat itu dilaksanakan tiba-tiba terdengar suara tanpa rupa. Dalam bahasa jawanya “He kisanak utusaning raja, ingsun nedha narima mbok wus siro upati mundhi dhawahing raja, nanging dadi weruha niro yen ingsun wus ketrima sing dadi panjangkaning, ingsun wus muksono. mula nggoniro ngupadi ingsun, yen ana rejaning jaman Desa iki ingsun tengeri Desa “Kedunggubah”, ing dhasare kedung iki ana wewangsunan sing wujud gubah.
Suara itu kemudian hilang, utusan raja Majapahit akhirnya menetap di Desa ini. Orang menyebut Eyang Suroboyo yang makamnya tidak jauh dengan petilasan Eyang Bangun Topo. Sampai sekarang makam-makam Eyang Bangun Topo, Eyang Suroboyo, dan Eyang Banten tiap-tiap bulan Rajab diperingati dengan bersih makam, Merti Desa, atau Selametan Desa terjadinya Desa Kedunggubah.
Dalam kisah lain di kisahkan .
Sejarah nama Desa Kedunggubah berawal dari sebuah nama tempat yang di namakan Kedung / Kedungan yang berbentuk seperti Gubah bulat ( Jembangan wadah air besar terbuat dari tanah ) yang terletak di aliran Sungai Mongo di perbatasan Dusun Blekokan dan dusun Kliwonan / di sebelah bawah jembatan yang menyebrangi menuju arah ke kecamatan Kaligesing melewati Gunung Guntur.
Sungai Mongo sendiri adalah hilir dari aliran Sungai Kali Puro yang mana Sungai kali Puro ini berhulu di bawah Gunung Pencu di Dusun Sewu atau Desa Krajan kala itu.
Kedung Gubah ini dulunya pernah menjadi ikonik ritual di antarannya :
Sehingga penduduk di Desa mensyakralkan bahwa Kedung Gubah tempat yang mengandung makna pelestarian ikoni suatu tempat yang memberi manfaat bagi banyak penduduk agar lebih mudah juga penamaan suatu Desa di edintikan dengan Nama Ikon Desa, sehingga dari nama Kedung Gubah lalu di tulis dan di baca serta di ingat dengan nama KEDUNGGUBAH.
Dahulu nama Desa bukan Kedunggubah nama Kedunggubah dari gabungan dua Desa yaitu Desa Ngabeyan ( Kliwonan ) yang membawahi Dusun Blekokan dan Dusun Kedung Curug dan Desa Krajan yang sekarang menjadi Dusun Sewu, karena pembauran yang erat antara penduduk kedua Desa lalu di sepakati oleh penduduk di dua Desa tersebut melalui pemimpin kedua Desa untuk sepakat menggabungkan kedua Desa menjadi satu desa dengan nama yang di ubah berdasarkan mufakat bersama dengan mengambil ikon tempat kemanfaatan yang ada di Desa yaitu Kedung Gubah, hingga saat ini dengan nama KEDUNGGUBAH.
‘’ DESA KEDUNGGUBAH ’’
GUMREGAH
KEPEMIMPINAN DARI MASA KE MASA
Desa Kedunggubah di Pimpin pada masa penjajahan colonial Belanda Pra kemerdekaan Republik Indonesia di pimpin oleh Eyang manten / Eyang Banten.
Dan setelah kemerdekaan Indonesia Desa Kedunggubah di Pimpin dengan system Desa yang di pimpin oleh :
Tahun 1945-1954 di pimpin oleh : Lurah : Mbah Glondong : Blekokan
Tahun 1954-1955 di pimpin oleh : Lurah : Kemput : Blekokan
Tahun 1955-1987 di pimpin oleh : Lurah : Karto Dimedjo : Blekokan
Tahun 1987-1994 di pimpin eleh : Kepala Desa : Sukarman : Kedung Curug
Tahun 1994-1995 di pimpin oleh : Pj Kades : Suparno : Purworejo
Tahun 1995-2003 di pimpin oleh : Kepala Desa : Puji Purnomo : Blekokan
Tahun 2003-2013 di pimpin oleh : Kepala Desa : Puji Purnomo : Blekokan
Tahun 2013-2019 di pimpin oleh : Kepala Desa : Budiyanto : Kliwonan
Tahun 2019-2025 di pimpin oleh : Kepala Desa : Surono : Kedung Curug
Desa Kedunggubah tidak lepas dari kisah kisah legenda nama nama tempat bersejarah yang di anggap penting sehingga menjadi nama Dusun atau lainya seperti berikut :
Sejarah bedirinya sebuah Desa tak kan lepas dari sang Pendahulu yang membuka / memulai adanya sebuah Desa atau sebutan lainya hingga saat ini.
Dalam hal sejarah Desa Kedunggubah juga tidak lepas dari keyakinan yang di anut penduduk Desa yaitu Agama Islam, Katholik dan Kristen dalam kerangka kehidupan kerukunan ber Agama.
KISAH TOKOH PENDAHULU DESA KEDUNGGUBAH
Dalam kisahnya yang bisa di tangkap bahwa Eyang TOYONO bisa di sebut dengan Eyang BANGUN TAPA dan Eyang SAIFUDIN yang mengisahkan tentang beliau adalah ketokohan Ilmuwan Syariat Islam, ke ilmuan haqiqat dan Kedigdayaan serta keilmuan ketatanegaraan namun beliau di kenal dengan keilmuan kedigdayaannya yang dating dari wilayah timur Demak Bintoro.
Adapun Makam / Pesarean beliau berada di wilayah Dusun Kedung Curug Rt 002/002 Desa Kedunggubah yang tempat itu lebih di kenal dengan nama Gandu.
Di kisahkan sebagian penduduk bahwa beliau adalah pendahulu yang berjasa menaklukan makhluk makhluk asral di Desa Kedunggubah sehingga wilayah Desa Kedunggubah dapat di tempati oleh penduduk secara umum di wilayah Desa Kedunggubah.
Dan jasa lainya memahamkan ilmu syariat ibadah umat Islam walau masih sebatas pengenalan dan ilmu ketauhidan yang menerangkan Ke Imanan terhadap Sang Pencipta.
Dalam kisah sering di datangi penduduk untuk memohon saran dan solusi atas masalah yang di hadapi penduduk.
Dalam kisahnya yang dapat di tangkap bahwa beliau Eyang SOROBOYO atau Eyang SUROBOYO adalah seorang Prajurit Mataraman Yogyakarta.
Adapun Makam / Pesarean beliau berada di wilayah Dusun Sewu RT 002/003 Desa Kedunggubah.
Di Eyangsahkan bahwa beliau adalah Tokoh Pendahulu yang tugaskan di Desa Kedunggubah dalam pengabdian beliau sebagi prajurit mataraman Jogjakarta, dan pada suatu saat beliau di panggil Sultan untuk di utus ke Daerah Banten guna menyampaikan Amanah Sultan Hamengku Buana I Jogjakarta kepada seseorang di Daerah Banten, selnjutnya Eyang Toyono pulang ke Kedunggubah dan tak lama kemudian jatuh sakit dan wafat.
Dalam hal itu beliau yang melatih membimbing penduduk Desa Kedunggubah untuk berlatih ilmu kanuragan fisik agar dapat menghadapi musuh / penjajah di masa penjajahan kolinial Belanda kala itu.
Dalam kisahnya yang bisa di tangkap bahwa Eyang Manten bisa di sebut juga Eyang Banten yang mengisahkan tentang beliau dari asal muasal datangnya yaitu dari daerah Banten Jawa Barat beliau masih ada sangkut pautnya ( Keturunan / nasab sambung ) dengan Pangeran JAYAKARTA Jakarta dan datang ke Desa Kedunggubah, dan ada yang mengatakan menetap di Desa Kedunggubah, dan beliau di minta untuk memimpin oleh Eyang TOYONO pada masa itu sebagai Lurah / Kepala Desa ( Istilah sekarang )
Adapun makam / pesarean beliau berada di wilayah Dusun Blekokan Rt 001/001 Desa Kedunggubah yang tempat itu di namakan Makam SIBERUK ( karena banyak hewan kera jenis BERUK yang menempati tempat itu ), yang sampai sekarang ini siapapun yang menjadi Kepala Desa di Desa Kedunggubah wajib merawat / Nyekar / Ziarah pada Kamis wage sore / malam Jumat Kliwon dalam keyakinan penduduk Desa Kedunggubah agar Kepala Desa dapat kuat dan mampu menjalankan roda pemerintahan di Desa Kedunggubah selama menjabat sebagai Kepala Desa Kedunggubah berkah memohon restu dari Eyang Manten.
Eyang Manten / Eyang Banten punya kegemaran / Klangenan peliharaan yaitu Burung Kutut yang hingga sekarang banyak yang mendengar suara burung kutut yang berbunyi di Makam Siberuk terkadang berujud terkadang tidak berujud.
Dalam keteladanan / jasa beliau adalah membuka, memimpin dengan system ketatanegaraan dan mengembangkan dalam membangun wilayah Desa Kedunggubah agar dapat mengsejahterakan warga penduduk Desa Kedunggubah.
Pada masa beliau ada kejadian, yaitu adanya Masjid Tiban yang sekarang Bernama Masjid Al-Muttaqiin Desa Kedunggubah terletak di Dusun Blekokan Rt 001/001.
Dalam kisahnya yang dapat di tangkap bahwa beliau Eyang ONGGO WONGSO adalah dari tiga bersaudara yang masih ada hubunganya dengan Kasultanan Mataraman Jogjakarta tiga bersaudara tersebut yaitu :
Adapun Makam beliau berada di Wilayah Dusun Blekokan RT 002/001 Desa Kedunggubah yang sering di sebut Makam MAGANGAN INGGIL.
Di kisahkan bahwa beliau itu terkenal sejak kurun waktu akhir akhir ini di era tahun 1.990 an sesuai dawuh Simbah Kyai Amin Mahfudz ( Imam Masjid Al Muttaqiin ) Desa Kedunggubah. Dahulunya beliau Eyang Onggo Wongso adalah Saudara / famili dari ayahnya Pak STEN atau yang sekarang di sebut Pak Camat, dengan sepeninggalnya pak STEN maka perawatan Makam Eyang ONGGO WONGSO di teruskan oleh keluarga yang bernama ( Mbah RUS) beliau Mbah Rus yang dulunya pernah menjadi dayang Kraton Jogjakarta pada masa kepemimpinan Sinuhun Hamengku Buana ke.VII mendapat Amanah untuk merawat makam Eyang ONGGO WONGSO dan di beri tanda saksi / pengenal dari kraton Jogjakarta berupa Selendang Kemben ( sabuk kain untuk wanita ) yang sekarang teruskan oleh Pak. LEGIONO.
Di kisahkan juga beliau Eyang Onggo Wongso adalah seorang Telik Sandi / mata mata yang di tugasi oleh Sultan Hamengku Buana Ke-VII di wilayah Utara dan tinggal di Desa Kedunggubah sampai beliau Wafat di Desa Kedunggubah.
Di kisahkan juga bahwa beliau dalam menutupi sebagai Telik Sandi / mata mata berbaur dengan penduduk Desa Kedunggubah dan mengajarkan banyak hal hal kebaikan di bidang Agama maupun kehidupan social di penduduk Desa Kedunggubah.
Dalam kisahnya yang dapat di tangkap bahwa beliau Eyang UKODO adalah seorang tokoh pada masa itu.
Adapun Makamnya berada di wilayah Dusun Sewu Rt 001/003 Desa Kedunggubah yang sering di namakan Gunung PENCU juga di sebut JO DRONO yang berbatasan dengan Desa Kaligono.
Di kisahkan bahwa beliau di kenal tokoh Sakti mandraguna yang mempunyai aji aji Besi Kuning, suatu saat juga di kisahkan makam beliau di jaga oleh se ekor ular yang sangat besar sebesar pohon kelapa dan Panjang sekali yang mempunyai jengger / seperti tanduk di kepalanya, dan siapapun yang berniat jelek di makam itu pasti akan di ganggu oleh sang penunggu ada wujud ular besar ada juga klabang yang sangat banyak jumlahnya.
Dalam kisahnya yang dapat di tangkap bahwa beliau Eyang YAHYA BAYHAQI atau Syaikh YAHYA adalah tokoh ulama kharismatik pada masanya menurut keterangan yang di dapat beliau adalah pendatang yang membawa Syiar Agama Islam di Desa Keduggubah, beliau keturunan / saudara famili dari Syaikh BAIDHOWI ayah dari Syaikh Hasan Mukibat Kediren Bagelen yang sekarng di Makamkan Di Daerah Kota Gede Bantul, Jogjakarta. Adapun turun keberapa dan siapa anak turunya yang ada belum ada keterangan yang jelas.
Tentang Makam Beliau Eyang YAHYA BAYHAQI berada di wilayah Dusun Blekokan Rt 002/001 Desa Kedunggubah atau juga di sebut makam Magangan Inggil namun sampai sekarang Makam beliau belum di ketemukan dengan jelas dan pasti sera dapat di tentukan karna minimnya keterangan yang di dapat.
Yang menjadi pertanyaan adalah Eyang Onggo Wongso dan Syaikh Yahya Bayhaqi ini orang yang sama atau orang lain yang di maksud dalam kisah kisah yang berbeda asal sumber keterangannya.
LEGENDA MASJID TIBAN
Pada masa pra kemerdekaan Republik Indonesia di Eyangsahkan pada malam Jum’at Kliwon saat itu bertepatan dengan bulan purnama atau tanggal 15 Muharram, malam itu tersa sunyi dan menenangkan, pada pagi harinya penduduk di kagetkan dengan adanya bangunan kecil 4 X 4 m2 dan ada bentuk pengimaman beratapkan ijuk / dari daun kelapa yang anyam maka rumah kecil itu di namakan Masjid Tiban. Dan di seEyangtar masjid Tiban ada batu lonjong seakan yang mendandakan batas luas wilayah masjid itu, bentuk batu lonjong berada di empat pojok sebelah barat, selatan, timur dan utara sampai sekarang batu tersebut masih ada dan berdiri kokoh.
Di Eyangsahkan pernah batu itu mencoba untuk di pindahkan berhasil pindah namun yang terjadi tanpa ada yang tahu batu itu Kembali lagi ketempat semula.
Pada zaman belanda sebelum Indonesia merdeka masid Tiban pernah hancur dan tidak bisa di gunakan selanjutnaya pada masa kepemipinan Eyang Manten / Eyang Banten masjid Tiban di bangun Kembali dengan menggunakan bahan yang ada dan sekaligus di perluas masjidnya.
Dan terus berkembang dalam pembangunannya seiring dengan jumlah jama’ah yang menempati Masjid itu dan di sepakati setelah renovasi yang ke 4 di beri nama Masjid AL-MUTTAQIIN Desa Kedunggubah.
Dan terakhir pada tahun 2014 di bangun Kembali yang lebih luas 15 X 15 M2.
Pada zaman dulu jama’ah Jumatan di Masjid AL-MUTTAQIIN di isi oleh penduduk muslim sekedunggubah dan pada awal 1985 jama’ah Jumatan di pecah menjadi 2 tempat :
Masjid AL_MUTTAQIIN Desa Kedunggubah di Imami oleh Simbah Kyai Amin Mahfudz sampai wafat pada Tahun 2017 dan di gantikan oleh Bpk. KH. Suroso.
LEGENDA GUNUNG SEPENDEM
Dahulu kala ada cerita rakyat menceritakan tentang Gunung Sependem, yakni gunung sependem ini terletak di Dusun Kedung Curug Rt 001/002 Kedunggubah. Dalam cerita yang turun temurun bahwa di Gunung Sependem ini terdapat Pendeman / di tamam seperangkat alat music Jawa yaitu Gamelan tapi ada di salah satu alat music ini yang terbuat dari emas murni yaitu jenis GONG ynag paling besar dengan identic bersuara GONG GER, pernah ada yang berusaha untuk mengambil bend aitu namun taka da satupun yang dapat mengambil dari dalam Gunung itu hingga sekarang, penduduk Desa Kedunggubah memilih untuk menjaga kelestarianya dengan tidak ada yang berniat mengambil benda itu.
Di kisahkan juga barang siapa berniat jelek di tempat itu akan terjebak di tanah kering namun dapat menghisap tubuh ada juga yang merasa kegatalan yang tanpa sebab.
LEGENDA PERBATASAN DESA
Dahulu di kisahkan bahwa perbatasan Desa Kedunggubah ada bongkahan bongkahan batu besar yang terletak di setiap titik perbatasan Desa Kedunggubah dengan desa lainya seperti batu itu di letakan berderet yang mengelilingi Desa Kedunggubah, hal tersebut dapat di lihat sampai sekarang seakan menandakan bahwa batu batu itu sebagai tanda wilayah batas BUMI PERDIKAN yang di miliki oleh seseorang di Desa Kedunggubah kala itu.
MAKNA SELOGAN GUMREGAH
PADA NAMA KEDUNGGUBAH GUMREGAH
Penggagas selogan Desa Kedunggubah Gumregah adalah Bapak SUKARMAN pada saat itu menjabat sebagai Keepala Desa Kedunggubah mulai Tahun 1987-1994, Adapun selogan Gumregah sendiri mempunyai makna yang terkandung dalam setiap huruf GUMREGAH yang tertulis dengan di jabarkan / di eja wantahkan dalam Bahasa Jawa Krama Inggil.
Adapun pengeja wantahan selogan GUMREGAH sebagai berikut :
G = GOLONG GILIG MANUNGGALING CIPTA RASA KARSA
U = UNDHAKING KAWRUH KANG UTAMA
M = MANEMBAH MRING HYANG MAHA KUWASA
R = RUMAGANG ING SAMUBARANG KARYA
E = EKONOMI KANG MAPAN LAN TUMATA
G = GUMREGUT CANCUT TRUS AMBACUT
A = ANGGAYUH RAHARJANING PRAJA
H = HANGRUNGKEBI BUMI PERTIWI SEJATI
Bisa di paham dalam Bahasa Indonesia yang kurang lebih sebagai berikut :
G = GOLONG GILIG MANUNGGALING CIPTA RASA KARSA
Bersatu padu dalam tekad rasa keja keras
U = UNDHAKING KAWRUH KANG UTAMA
Meningkatnya pemahaman ilmu dan pengalaman yang utama
M = MANEMBAH MRING HYANG MAHA KUWASA
Beribadah dengan baik dan damai kepada Sang Maha Kuasa sesuai agama dan keyakinan
R = RUMAGANG ING SAMUBARANG KARYA
Bersemangat bekerja keras atas semua jenis pekerjaan
E = EKONOMI KANG MAPAN LAN TUMATA
Perekonomian yang mapan dan tertata di keluarga dan ekonomi desa
G = GUMREGUT CANCUT TRUS AMBACUT
Etos semangat dengan kesiapan yang baik dan pantang mundur untuk dari medan
A = ANGGAYUH RAHARJANING PRAJA
Berusaha menggapai cita-cita kemuliaan kalayak lumrah
H = HANGRUNGKEBI BUMI PERTIWI SEJATI
Betul-betul bersemangat dalam menjaga bumi pertiwi desa dengan semangat membangun desa